Sebuah pembahasan yang menarik tentang posisi
Indonesia di ASIA. Membahas posisi Indonesia sebagai motor penggerak stabilitas dan juga kesejahteraan di
kawasan Asia. Dalam pembahasannya yang lugas Prof Hikmahanto juga mengemukakan
tantangan tantangan Indonesia sebagai Motor penggerak di ASIA yang meliputi
stabilitas dan kesejahteraan serta solusi yang bisa dijadikan masukan untuk
pemerintah saat ini.
“Di sinilah
pentingnya presiden memainkan peran untuk menjaga keseimbangan negara-negara
yang memiliki ketertarikan Indonesia. Tidak mengherankan bila presiden ingin
mendengar Jepang terkait dengan proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya. Presiden
tentu tidak boleh mengistimewakan satu negara daripada negara lain. Di samping
akan bertentangan dengan kebijakan luar negeri yang secara konsisten
dijalankan, yaitu bebas aktif, ini akan berimplikasi pada posisi Indonesia yang
ditinggalkan negara-negara G-7”
Editorial by: Zazat Zenal Mutakin
Prof. Hikmahanto Juwana (sumber: kompas.com) |
Indonesia
sebagai Motor Penggerak di Asia
Prof. Hikmahanto Juwana
PADA Jumat
lalu (27/5), dalam rangka Konferensi Tingkat Tinggi G-7 di Ise-Shima, Jepang,
Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa tatanan dunia kini sudah berubah dengan
munculnya negara-negara berkembang seperti Indonesia. Keberadaan Indonesia dari
waktu ke waktu terlihat oleh negara-negara yang tergabung dalam G-7 semakin
penting. Kali ini Indonesia pun berkomitmen dalam peran sebagai motor penggerak
untuk stabilitas dan kesejahteraan ekonomi kawasan Asia.
Pernyataan
Presiden ini menarik untuk dicermati dalam dua dimensi. Pertama, Indonesia
sebagai motor penggerak bagi stabilitas kawasan di Asia. Kedua, Indonesia
sebagai motor penggerak kesejahteraan ekonomi kawasan Asia.
Stabilitas
Peran Indonesia sebagai motor penggerak dan penjaga stabilitas di kawasan Asia sebenarnya telah diakui dunia sejak lama. Ketokohan Soekarno sebagai presiden pertama telah mampu mengonsolidasikan negara-negara berkembang dalam gerakan nonblok. Gerakan nonblok telah menjadi kekuatan ketiga saat dunia dijalankan secara bipolar.
Peran Indonesia sebagai motor penggerak dan penjaga stabilitas di kawasan Asia sebenarnya telah diakui dunia sejak lama. Ketokohan Soekarno sebagai presiden pertama telah mampu mengonsolidasikan negara-negara berkembang dalam gerakan nonblok. Gerakan nonblok telah menjadi kekuatan ketiga saat dunia dijalankan secara bipolar.
Perdamaian
di Kamboja melalui Jakarta Informal Meeting (JIM) yang diinisiasi Presiden
Kedua HM Soeharto dan Menteri Luar Negeri (Menlu) ketika itu Ali Alatas juga
merupakan bukti. Konflik internal di Kamboja dengan turut bermainnya
negara-negara besar bila tidak diselesaikan akan mengganggu stabilitas kawasan.
Demikian
pula dalam konflik Laut China Selatan (LCS). Indonesia telah berperan untuk
menjaga stabilitas kawasan dengan menjadi mediator yang jujur. Konflik LCS yang
setiap saat dapat berubah menjadi perang terbuka (hot war) dapat diredam, salah
satunya karena andil Indonesia. Dunia pun
mengakui peran Indonesia dalam berbagai misi pasukan perdamaian Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Bahkan, Indonesia telah membangun fasilitas pelatihan bagi
pasukan yang akan diikutkan dalam misi perdamaian PBB, tidak hanya yang berasal
dari Indonesia, tetapi dari kawasan.
Oleh karena
itu, tidak salah bila Presiden Jokowi menyatakan Indonesia sebagai negara
berkembang telah mampu berperan sebagai motor penggerak stabilitas di kawasan
Asia. Pernyataan ini penting karena Indonesia berarti telah mempunyai posisi
tawar baru bila berhadapan dengan berbagai negara dalam menyelesaikan konflik
di kawasan.Namun,
tantangan menjadi motor penggerak tentu ada. Paling tidak ada tiga. Pertama, peran
Indonesia sebagai motor penggerak stabilitas harus dilakukan tidak hanya oleh
presiden.
Peran ini
dapat didelegasikan para tokoh. Mereka antara lain para mantan presiden, yaitu
BJ Habibie, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jusuf Kalla pun
termasuk tokoh yang saat ini menjabat sebagai wakil presiden. Demikian
pula para mantan menteri yang andal dalam kancah internasional, seperti Hassan
Wirajuda, Alwi Shihab, dan Marty Natalegawa. Pendelegasian
itu tentu tidak akan terwujud bila masih ada sekat antara mereka yang menjabat
di masa lampau dan sekarang. Presiden Jokowi diharapkan dapat menghilangkan
sekat ini. Mantan
presiden Megawati, misalnya, dapat diminta menjadi tokoh motor penggerak dalam
perdamaian di semenanjung Korea. Sementara itu, mantan presiden SBY dapat
diminta menjadi tokoh motor penggerak dalam peredaman eskalasi konflik di LTS.
Agar dapat
terlaksana upaya para tokoh ini, mereka harus didukung para staf yang mumpuni.
Staf ini harus pandai mengidentifikasi permasalahan dan secara cermat bersama
para tokoh mengartikulasikan serta menjual solusi.
Tantangan
kedua berkaitan dengan anggaran. Sebagai motor penggerak stabilitas di kawasan, sudah
dapat dipastikan Indonesia akan membutuhkan anggaran yang tidak kecil. Di sini
pentingnya pemerintah mengalokasikan anggaran yang memadai tanpa dikesankan
sebagai penghambur-hamburan uang negara oleh DPR dan publik.
Ketiga, tantangan
yang dihadapi ialah bagaimana publik di Indonesia mengapresiasi apa yang
dilakukan pemerintah. Publik tidak boleh mengecilkan keinginan pemerintah
untuk menjadi motor penggerak stabilitas di kawasan dengan melihat realitas
kemampuan pemerintah untuk dapat menyelesaikan berbagai konflik di dalam
negeri.
Untuk itu,
perlu dilakukan penyampaian pemahaman kepada publik pentingnya Indonesia
mengambil peran sebagai motor penggerak stabilitas di kawasan. Tidak saja
disebabkan dunia membutuhkan peran Indonesia, tetapi juga kewajiban ini
tercantum dalam mukadimah konstitusi, yaitu untuk ikut melaksanakan ketertiban
dunia.
Di samping
itu, di saat-saat Indonesia menghadapi kesulitan, bukannya tidak mungkin
Indonesia mendapatkan bantuan dari negara-negara yang telah terbantu.Pembebasan
atas sandera di Filipina tidak mungkin terjadi dalam waktu yang relatif singkat
bila Indonesia tidak memainkan peran dalam perdamaian antara pemerintah
Filipina dan para pemberontak etnik Moro.
Kesejahteraan
kawasan
Indonesia pun sangat bisa menjadi penggerak kesejahteraan kawasan. Indonesia adalah pasar yang sangat menjanjikan bagi para pelaku usaha, baik dari negara maju maupun negara berkembang.Dengan jumlah penduduk yang besar dan kelas menengahnya yang terus berkembang, Indonesia menjadi sasaran pelaku usaha mancanegara. Belum lagi konsumen di Indonesia yang sangat mudah diubah melalui iklan dan tidak adanya pesaing yang tangguh di dalam negeri.
Indonesia pun sangat bisa menjadi penggerak kesejahteraan kawasan. Indonesia adalah pasar yang sangat menjanjikan bagi para pelaku usaha, baik dari negara maju maupun negara berkembang.Dengan jumlah penduduk yang besar dan kelas menengahnya yang terus berkembang, Indonesia menjadi sasaran pelaku usaha mancanegara. Belum lagi konsumen di Indonesia yang sangat mudah diubah melalui iklan dan tidak adanya pesaing yang tangguh di dalam negeri.
Indonesia
juga menjadi motor penggerak kesejahteraan di kawasan karena Indonesia sedang
membangun banyak infrastruktur, mulai transportasi umum hingga pelabuhan dan
pembangkit listrik.Pendeknya,
pasar dan pembangunan infrastruktur telah menjadi motor pertumbuhan ekonomi di
berbagai negara.
Hanya, pemerintah tentu harus memikirkan kesejahteraan tidak hanya terjadi di kawasan. Pada saat bersamaan, pasar yang besar di Indonesia dan pembangunan infrastruktur harus memberikan kesejahteraan bagi Indonesia sendiri.
Dalam
konteks demikian, pemerintah harus menjamin lapangan pekerjaan terbuka di
Indonesia. Pemerintah juga harus memastikan di Indonesia muncul pelaku-pelaku
usaha yang tangguh. Pada saatnya nanti, para pelaku usaha diharapkan mampu
merambah pasar dunia.
Karena
Indonesia sebagai motor penggerak kesejahteraan kawasan, bahkan dunia, bisa
jadi ini merupakan alasan pemerintah Jepang sebagai organizer pertemuan tingkat
tinggi G-7 mengundang secara khusus Presiden Jokowi.
Upaya ini
juga dapat ditafsirkan agar Indonesia lebih memberikan tempat bagi kepentingan
ekonomi negara anggota G-7 di Indonesia.
Ini
mengemuka karena Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dianggap
sejumlah negara yang tergabung dalam G-7 lebih memberikan keistimewaan kepada
Tiongkok. Berbagai proyek infrastruktur telah dimenangi para pelaku asal
Tiongkok, seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Di sinilah
pentingnya presiden memainkan peran untuk menjaga keseimbangan negara-negara
yang memiliki ketertarikan Indonesia. Tidak mengherankan bila presiden ingin
mendengar Jepang terkait dengan proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya. Presiden
tentu tidak boleh mengistimewakan satu negara daripada negara lain. Di samping
akan bertentangan dengan kebijakan luar negeri yang secara konsisten
dijalankan, yaitu bebas aktif, ini akan berimplikasi pada posisi Indonesia yang
ditinggalkan negara-negara G-7.
Presiden
justru harus pandai memainkan posisi Indonesia agar negara-negara yang tertarik
dengan Indonesia terus meningkatkan investasi mereka di Indonesia. Intinya
mereka harus dibuat cemburu satu sama lain untuk memenangi hati Indonesia.
Upaya itu tentu harus disertai dengan pembenahan iklim investasi secara
terus-menerus.
Dengan
semakin pentingnya posisi Indonesia di mata dunia, setiap komponen bangsa,
utamanya birokrasi, harus siap.
Presiden
membutuhkan setiap komponen bangsa untuk mendukung, termasuk peran swasta.
Presiden Jokowi melakukan ini tentu demi Indonesia, bukan demi partai pendukungnya,
bahkan kepentingan pribadi untuk dapat terpilih lagi. Di sisi lain, pemerintah
harus bijak, jangan sampai kepentingan Indonesia tercederai dan terbebani
karena beban baru sebagai pelopor di Asia.
Analisis ini di muat dalam Media Indonesia.
0 Komentar